Thursday, January 10, 2008

100 TAHU KEBANGKITAN


100 Tahun Kebangkitan Indonesia
Monolog by Hermana HMT

Diambil dari:
Cuplikan Pembelaan Soekarno dalam Indonesia Menggugat
dan Rangkaian Pidato Lainnya

Saudara-saudara: Pergerakan tentu lahir.
Pergerakan tentu lahir, diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau tidak diberi pegangan: diberi penguat atau tidak beri penguat, - tiap-tiap mahluk, tiap-tiap umat bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnya bangkit, pasti akhirnya bangun, pasti akhirnya menggerakan tenaganya, kalau ia sudah terlalu sekali merasakan celakanya diri teraniaaya oleh suatu daya angkara murka! Jangankan manusia, jangankan bangsa, - cacing pun tentu bergerak, berkeluget-keluget kalau merasa sakit!
Rakyat Indonesia sekarang sejak 1908 sudah bangkit; nafsu menyelamatkan diri sekarang sejak 1908 sudah menitis juga kepadanya! Imperialisme-modern yang mengawut-ngawut Indonesia itu, imperialisme-modern yang menyebabkan kesengsaraan di mana-mana – imperialime-modern itu sudah menyinggung dan membangkitkan musuh-musuhnya sendiri. Raksasa Indonesia yang tadinya pingsan seolah-olah tidak bernyawa, raksasa Indonesia itu sekarang sudah berdiri tegak dan sudah memasang tenaga! Saban kali ia mendapat hantaman, saban kali ia rebah, tapi saban kali pula ia tegak kembali! Seperti mempunyai kekuatan rahasia, seperti mempunyai kekuatan penghidup, seperti mempunyai aji-pancasona dan aji candrabirawa, ia tidak akan bisa dibunuh dan malah makin lama makin tak terbilang pengikutnya!
Pergerakan rakyat Indonesia bukan bikinan penghasut. Juga sebelum ada penghasut. Udara Indonesia sudah penuh dengan hawa kesedihan merasakan kesengsaraan dan oleh karenanya, penuh pula oleh hawa keinginan menghindarkan diri dari kesengsaraan itu. Sejak berpuluh-puluh tahun udara Indonesia sedah penuh dengan hawa-hawa yang demikian itu. Sejak berpuluh-pluh tahun rakyat Indonesia itu hatinya selalu mengeluh, hatinya selalu menangis menung-nunggu datangnya wahyu yang akan menyalakan api pengharapan didalamnya, menunggu-nunggu datangnya mantram yang bisa memberikan sesuap nasi, sepotong ikan dan sepotong kain kepadanya. Haraplah Saudara-saudara fikirkan. Apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya Ratu Adil, apakah sebabnya prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menjalankan harapan rakyat, apakah sebabnya seringkali kita mendengar bahwa di desa ini atau di desa itu telah mucul seorang Imam Mahdi. Tidak lain tidak bukan ialah oleh karena hati rakyat yang menangis itu, tak henti-hentinya, tak habis-habisnya menunggu-nunggu atau mengharap-harap datangnya pertolongan, sebagaina orang yang berada dalam kegelapan tak henti-hentinya pula sebab jam, sebab menit, sebab detik, menunggu-nunggu dan mengharap-harap: kapan, kapankah matahari terbit?
Prof. Snouck berkata; Sebagaimana sekarang golongan-golongan besar dari bangsa Bumiputra senantiasa bersedia untuk dengan terus terang memihak kepada salah seorang intelektual bangsanya sendiri, yang dirasanya memperjuangkan kepentingannya, meskipun mereka itu belum “matang” untuk mengerti semua teori-teorinya, demikianlah mereka suka mengikuti pemimpin-pemimpin yang menjajinkan kepada mereka kemerdekaan yang bisa diperoleh dengan jalan rahasia dan dengan cara-cara rahasia, atau dengan cara sembunyi mengerahkan tentara untuk perang sabil dengan kaum kafir, bilamana ada kesempan baik. Bahwa perjuangan yang demikian itu sia-sia saja, karena alat-alat untuk membuka jalan sama sekali tidak cukup, mereka tidak mengerti, dan demekianlah mereka menganggap setiap orang yang menjanjanjikan kepada mereka Ratu Adil, atau Mahdi atau pemerintah yang adil, adalah nisbi.
Pergerakan rakyat adalah bikinan kesengsaraan rakyat, pengaruh kami di atas rakyat adalah pula bikinan kesengsaraan rakyat! Kami hanyalah mewujudkan jalan: kami hanyalah mencarikan bagian-bagian yang rata dan datar untuk aliran-aliran yang makin lama makin membanjir itu;- kami hanya menunjukan tempat yang harus dilalui oleh banjir itu, agar banjir itu bisa dengan sempurna mencapai Lautan Keselamatan dan Lautan Kebesaran adanya….
Dari Sabang sampai Meroke. Empat perkataan ini, bukalah satu rangkaian kata-kata ilmu bumi. Dari Sabang sampai Meroke bukanlah sekedar menggambarkan geografi agrif. Ia adalah merupakan satu kesatuan kebangsaan, ia adalah satu pola kesatuan kenagaraan yang bulat dan kuat, ia adalah kesatuan tekad, satu kesatuan idiologi yang amat dinamis, ia adalah kesatuan cita-cita sosial yang hidup laksana api ungun. Karena itu hai seluruh bangsa Indonesia tetap tegakanlah kepalamu, jangan mundur, jangan berhenti, tetap derapkanlah kakimu di muka bumi. Jikalu ada kalanya saudara-saudara merasa bingung, jikalau ada kalanya saudara-saudara hampir berputus asa, jikalau ada kalanya saudara-saudara kurang mengerti jalannya revolusi kita yang memang kadang-kadang seperti bahtera di lautan badai yang mengamuk ini. Kembalilah kepada suber amanat penderitaan rakyat kita. Kembalihah kepada sumber itu sebab saudara-saudara akan menemukan rilnya revolusi.
Saya bicara di sini sebagai pemimpin besar revolusi Indonesia. Saya sekarang tidak terutama sekali berbicara sebagai preseden mandataris, tidak sebagai prersiden perdanamentri, tidak sabagai panglima tertinggi. Saya berbicara di sini sebagai penyambung lidah rakyar Indonesia.
Ayo bangsa Indonesia. Dengan jiwa yang berseri-seri mari berjalan terus, jangan berhenti revolusimu belum selesai. Jangan berhenti sebab siapa yang berhenti akan diseret oleh sejarah dan siapa yang menentang corak dan arahnya sejarah tidak perduli tiada bangsa apapun ia akan digiling, digilas oleh sejarah itu sama sekali. Kita hidup harus makan, yang dimakan hasil kerja, jika tidak kerja tidak makan, jika tidak makan pasti mati. Inilah undang undangnya dunia, inilah undang-undangnya hidup, mau tidak mau semua mahluk harus menerima undang-undang ini. Terimalah undang-undang itu dengan jiwa yang besar dan merdeka, jiwa yang tidak menengadah melainkan kepada Tuhan. Sebab kita tidak bertujuan bernegara hanya satu windu saja, kita bertujuan bernegara seribu windu lamanya. Bernegara buat selama-lamanya. Sekali merdeka tetap merdeka. Merdeka! Merdeka! Merdeka untuk selama-lamanya.

***

TERJEBAK


Argus Bandung [News for Culture - Art - Education]
Agensi Berita Bandung - Bandung News Agency
Monday, September 3, 2007

Monolog Guru Yang “Terjebak”
Sebuah karung di antara dedaunan dan semak-semak meringkuk di tengahnya. Kemudian keluarlah suara manusia yang berujar penyesalan dirinya. Dia teringat saat itu, pada ibu kandung yang telah membesarkannya menjadi seorang bajingan, manusia hina, dan kotor. “Terima kasih ibu, cintamu begitu tulus dan abadi,” katanya di dalam karung itu. Namun katanya lagi, sudah tak mungkin untuk kembali ke dalam rahim sang ibu karena penyesalannya itu. Dosa besar baginya karena telah menjadi manusia kotor yang mencoreng wajah ibu kandungnya.
“Aku bukan Sidharta Gautama yang suci, aku manusia kotor dan hina. Aku terbuang,” ujarnya kemudian. Menyadari keterjebakannya dalam masalah itu ia berontak, ingin pergi. “Aku harus meloloskan diri dari semua masalah ini,” tukasnya sembari mencoba keluar dari dalam karung. Hingga kemudian ia lupa diri. Tapi ia terus menggeliat untuk keluar dari keterjebakannya dalam “karung” masalah itu.
Adegan serius berlanjut dengan masuknya dua orang penari dari pemain “Tubuh Lahir Tubuh Perang” yang sempat dipentaskan di Studio Teater bulan Juli lalu. Akan tetapi kemudian Hermana, pemain monolog “Terjebak”, menjelaskan adegan itu sebagai upaya sabotase dari pemain lain itu. Penonton pun disadarkan akan hal itu hingga membuat tertawa. Hermana keluar dari perannya sebagai guru yang terjebak masalah ekonomi dalam monolog itu. Kemudian berinteraksi dengan para penonton dan membuat sebuah dialog tentang guru. “Guru adalah pahlawan tanpa jasa, bagaimana menurut anda guru itu?” Tanya Hermana kepada penonton. Beberapa penonton angkat bicara menjawab pertanyaan dari Hermana. Ada yang menjawabnya dengan pernyataan keprihatinannya terhadap figur guru. Ada juga yang menjawab bahwa menjadi guru itu baik. “Saya merasa tidak terjebak menjadi guru. Saya senang menjadi guru, karena guru adalah jalan dakwah bagi saya, bukan profesi,” tutur Rahmat, 35 tahun, salah seorang penonton monolog itu.
Suasana cair itu kembali diarahkan pada pementasan oleh Hermana. Saat itu ia menjadi tokoh guru dalam perannya membawakan monolog Terjebak. Pementasan yang digelar dalam rangka ulang tahun Jurusan Teater STSI Bandung yang ke 29 di Gedung Patanjala, STSI Bandung kemarin (24/8). “Guru adalah pilar pembangunan bangsa. Karena guru lahirlah seorang pengusaha, tentara, wartawan, bahkan pejabat,” katanya. Semua penonton merasa diyakinkan oleh Hermana bahwa profesi guru adalah mulia. Namun demikian Hermana dalam perannya menjelaskan keadaan ekonomi guru-guru honorer yang diberi imbalan tidak memadai.
Suasana tragis pun terbangun dengan ujaran Hermana dalam pentas Terjebak itu. Kemudian muncul rekaman gambar seputar peristiwa demonstrasi pendidikan dan demonstrasi guru di beberapa kota. Adegan berlanjut dengan kisah dirinya yang menjadi guru honorer. Ketika itu ia menceritakan suatu kejadian runtut yang menyebabkan dia mati sebagai manusia. Yaitu ketika anak kesayangannya sakit dan dirawat di rumah sakit. Ketika itu ia tidak memiliki uang untuk menebus biaya rumah sakit. Karena itulah ian memberanikan diri untuk menjual buku kepada murid-murid yang diajarnya. Karena gaji guru honorer tidak mencukupi untuk membayar biaya rumah sakit.
Dalam kisah itu dia tertangkap oleh aparat karena tindakannya menjual buku kepada murid. Meski akhirnya dia dibebaskan, namun rasa bersalah teru menghantuinya. Maka dia menerima surat keputusan yang memberhentikannya sebagai guru honorer secara tidak hormat dari sekolah. Dia kemudian beralih profesi menjadi seorang pemulung. Namun profesi itu tidak juga menyejahterakan keluarganya. Anak dan istrinya sangat merindukan dia pulang. Namun dia belum mempunyai cukup uang untuk keluarganya di kampong.
Ekstasi kesulitan ekonomi dalam hidupnya divisualkan dengan adegan dikotik. Lagu “Kucing Garong” diperdengarkan dan dia menari di sana. Adegan ini lebih nampak sebagai puncak keputus-asaan dirinya yang tidak mampu mencari nafkah yang layak. Kesan hiburan di diskotik pun tidak terasa sebagai adegan hiburan.
Bencana tragis dalam hidupnya yang telah menjadi mantan guru it uterus berlanjut. Dia menerima sepucuk surat dari istrinya. Sebuah surat yang berisi kerinduan seorang istri dan anak kepadanya. Belum sempat dia membalas surat itu terdengar kabar bahwa kampunya dilanda bencana. Rekaman bencana nasional yang menimpa masyarakat Indonesia beberapa saat lalu, seperti banjir, gempa bumi, dan tsunami, ditayangkan pada layar di belakang panggung.
Saat itu dia hanya bisa meratapi tubuh anaknya yang sudah menjadi mayat. Rumahnya hancur berantakan. Istrinya entah di mana terkuburnya. Suasana sedih pun dihantar dengan alunan komposisi musik yang berisi puisi “Kemerdekaan” buah karya Toto Sudarto Bachtiar, yang dibacakan oleh seorang gadis kecil. Pertunjukan monolog Terjebak ditutup dengan gambar bendera merah putih pada layar di belakang panggung, sementara dia terkujur di tanah dengan kain putih yang menutupinya. *** Repertoar monolog Hermana yang berjudul “Terjebak” dikemas dengan sentuhan teknologi melalui sajian gambar-gambar hidup berupa video dokumenter dan animasi - multimedia di pentas. Penciptaan suasana tragis tokoh guru honorer yang dibawakan oleh Hermana itu tentu saja terasa lebih dramatis dan artistik, meskipun secara visual masih jauh dari kesempurnaan karena faktor peralatan media yang digunakan sangat terbatas kualitasnya.
Sementara itu, akting Hermana menggunakan konsep “Teater Sabrehna”. Bentuk teater Sabrehna menjadi ciri khas repertoar Hermana. Metode Brechtian, salah satu akar konsep Sabrehna, sendiri adalah teori pembawaan peran (akting) yang berasal dari teater anti ilusi atau antitesa dari proses empati yang disuguhkan oleh Aristoteles. Teater Verfremdungseeffekt (teater efek - pengasingan) atau alienasi, menegaskan adanya efek pengasingan yang muncul oleh alur cerita yang tidak berhubungan secara sebab-akibat, terpisah dan hanya terhubung oleh tema sentral. Pemain justru harus menjaga jarak dengan peran, sehingga pemain dapat berdialog dengan perannya sendiri. Itulah ciri teater epis Brecht.
Konsep teater Sabrehna dalam repertoar “Terjebak” juga repertoar sebelumnya diambil dari bahasa Sunda yang artinya seadanya, senyatanya. Jadi, teater Sabrehna adalah sabrehna apa yang dilihat, sabrehna apa yang dipikirkan, sabrehna apa yang dirasakan, dan sabrehna apa yang digerakkan dalam koridor kesadaran penuh tanpa mengesampingkan etika dan kekuatan estetik sebagai pertanggungjawaban kepada publik. “Main-main dalam bermain, tapi tidak main-main,” kata Hermana dalam proses latihan suatu produksi teater. Ia menekankan bahwa kesanggupan pemain itu harus ada ketika sedang bermain, berakting, dan adanya kesadaran untuk berkomunikasi dengan publik.
Konsep ini menjawab pertanyaan para kritikus dan penulis pertunjukan selama ini. Yakni ditunjukan dengan interupsi adegan ketika Hermana berada di tengah penonton dan berdialog dengan penonton secara langsung. “Jangan takut, jangan tegang! Ini bagian dari pertunjukan,” ujar Hermana kepada salah seorang penonton yang duduk di kursi paling depan yang terlihat tegang atau mungkin terganggu konsetrasinya saat menonton. Pada momen ini suasana pertunjukan agak cair, hingga kemudian Hermana memberi kesempatan kepada penonton untuk berkomentar tentang sosok dan peranan guru bagi masyarakat. Aktor turun ke area penonton memang tidak lazim ditemukan dalam pementasan teater realisme. Hermana melakukan hal ini karena konsep Sabrehna yang dipakainya.
Pertunjukan atau akting Hermana itu berlanjut lagi. Di atas pentas ia menjadi tokoh guru kembali. Dengan intensitas dan kesungguhan membawakan tokoh perannya. Kesedihan dengan air mata yang keluar terkesan benar-benar sedih. Ketika ia mengisahkan kisah sedih yang menimpa keluarganya. Hermana mengakui itu kepada saya dalam wawancara singkat setelah pertunjukan usai, bahwa tangis di atas pentas tadi benar-benar ekspresi kesedihannya terhadap guru-guru honorer di Indonesia. Jadi, air mata itu memang air mata sungguhan. Bentuk ekspresi ini kemudian disebutnya dengan kesungguhan memerankan tokoh di pentas. Jadi, memang tidak main-main.
Lakon “Terjebak” yang ditulisnya sendiri, dipentaskan sendiri, dan disutradarai sendiri ini merupakan sebuah repertoar yang dipersembahkan kepada seorang guru aktor di Bandung bahkan Indonesia, yaitu almarhum Suyatna Anirun.

ENDGAME


ENDGAME; Mengenang 100 tahun Beckett. Sebuah Refleksi Kegamangan Hidup.
Oleh :Hermana HMT

Pada umumnya manusia akan berusaha menghidar dari berbagai penderitaan yang menerpa dirinya. Ia akan mencari kesempurnaan hidup, yang senantiasa bisa mengiringi entitasnya. Walau kenyataan menunjukan, bahwa pada dasarnya manusia tidak ada yang sempurna. Tapi bersama ‘ego’ yang dimilikinya ia akan mencoba dan mencoba lagi memperjuangkan eksistensinya. Menunjukan, bahwa aku ada karena aku membuatku ada, aku bisa karena aku membuaku bisa. Dengan itu kesempurnaan sebagai manusia akan nampak, meskipun sekedar mendekati kesempurnaan.
Manusia hidup selalu dihadapkan dengan pilihan-pilihannya dan pilahan itulah yang akan membawa dirinya. Manusia akan bertanggung jawab atas hidupnya, apakah ia ingin hidup penuh kebahagian atau berada dalam penderitaan, apakah ia ingin berubah atau tidak. Tidak ada yang bisa memutuskan kecuali dirinya sendiri dan kepetusan itu tentunya bukan semata untuk dirinya melainkan tanggung jawab terhadap semua manusia.
Ia yang bukan apa-apa. Ia tidak akan menjadi apa-apa sampai ia menjadikan hidupnya apa-apa. Manusia adalah manusia itu sendiri. Bukan bahwa ia adalah apa yang ia anggap sebagai dirinya, tapi ia adalah apa yang ia ingini, dan ketika ia menerima dirinya setelah mengada – ketika apa yang ia ingini terwujud setelah meloncot ke dalam eksistensinya. Manusia bukanlah apa-apa selain apa yang ia buat dari dirinya sendiri. …. Ketika seseorang mengikatkan diri pada sesuatu, sepenuhnya menyadari bahwa ia tidak hanya memilih ia akan menjadi apa, tetapi juga sekaligus seorang ligislator yang memutuskan bagi seluruh umat manusia. Dalam situasi seperti ini, ia tidak dapat lari dari rasa tanggung jawab yang komplit dan mendalam ( JP. Sartre:1960 ).
Kesadaran manusia dengan keinginannya berbuat sesuatu yang baik untuk dirinya (sekaligus juga bertanggung jawab untuk manusia lainya), paling tidak harapan untuk mengakhiri sebuah penderitaan akan segera mewujud. Tapi apabila keputusasaan hinggap di jiwanya, tentu akan lain lagi. Dengan sendirinya manusia meruntuhkan eksistensinya, bahkan melenyapkan makna keberadaannya. Ia pun akan berada di dunia penuh kegamangan, sunyi, kosong dan tak berarti apa-apa, kecuali bergelut dengan segenap penderitaannya.
Tidak mau beranjaknya manusia dari penderitaan sebenarnya merupakan sebuah pilihan pula. Ia merasa kehidupan seperti itu harus dijalani sepenuhnya. Engame adalah sebuah lakon karya dramawan dunia - Samuel Beckett merupakan sepenggal kisah manusia yang mengisaratkan gejala psikologis dan sosiologis seperti itu. Sisa kehidupan yang hancur berkeping-keping dibeberapa belahan dunia akibat peperangan menorehkan sisi gelap yang amat getir bagi kehidupan manusia. Menyeret dirinya ke dalam situasi yang ganjil, sia-sia, mustahil, serta penderitaan yang berkempanjangan, sehingga menempatkan manusia berada di tingkat absurditasnya - menjadi manusia absurd.
Lakon Endgame ini mengisahkan seseorang bernama Hamm, manusia buta, lumpuk dan selalu menggunakan kateter agar bisa kencing. Ia menjalani seluruh hidupnya di atas kursi beroda, di sebuah ruangan sejenis gudang jauh di bawah tanah. Ada Clov, teman sekaligus pelayan setia Hamm. Ia tidak bisa duduk karena ada kelainan dikakinya. Dua tokoh lain, Nagg dan Nell adalah ayah dan ibu kandung Hamm yang senantiasa merecokinya. Mereka yang buntung ( tanpa memiliki kaki ) menghabiskan hidupnya di dalam dua tong abu terpisah.
Hamm yang sangat berambisi untuk mengetahui kondisi dunia luar senantiasa menanyakan kepada Clov. Namun setiap pertanyaan yang terlontar, Clov selalu memberikan jawaban yang sama, bahwa di luar tidak ada apa-apa kecuali kekosongan dan kegelapan. Selain itu Hamm pun selalu bertanya, apakah dia sudah waktunya minum obat, dan Klov dengan tegas menyatakan bawah obot untuk menahan rasa sakit belum waktunya untuk di minum. Sementara di sisi lain Clov pun selalu barkata pada Hamm bahwa ia akan pergi meninggalkan semuanya. Hamm mencoba menahanya dengan doktrin-doktrin, bahwa tidak ada tempat selain di ruangan ini, bila ada tempat lain, tempat itu adalah neraka. Walau demikian Clov masih saja berisi keras untuk pergi, tapi baru sampai di dapur nyatanya ia tidak bisa pergi lebih jauh, dan bersama kekesalannya ia pun kembali lagi mendampingi Hamm.
Semakin berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan dan beban yang dideritanya, semakin mengumpal pula penderitaan yang mereka rasakan, dan pada titik kulminasi ketidaksepahaman diantara mereka, dengan polos Klov berkata pada Hamm bahwa obat penahan rasa sakit sudah tidak ada lagi. Hamm semakin tepukul. Satu-satunya harapan yang sangat ditunggu-tunggu ternyata hanya harapan kosong. Tak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali dengan menutup pembicaraan dan segala aktifitasnya. “ Permainan sudah berakhir”, begitulah kata Hamm. Akhirnya kesadaran akan diri sabagai mahluk yang terbuang dalam kehampaan tak bermakna itu, dengan keharuan yang mendalam Hamm dan Clov melumerkan kebekuan masing-masing hatinya dengan saling berterimakasih atas segala yang pernah mereka terima, baik atas kebaikan dan keburukannya.
Dalam kisah Endgame, Beckett mengajak kita untuk lebih merasakan betapa konyolnya dan tak berarti apa-apa hidup di dunia ini. Manusia seperti berada di dalam labirin. Ia kehilangan tujuan hidup, kehilangan harapan dan kehilangan cita-cita. Jiwa raganya terakumulasi dalam kehampaan eksistensi, dan kecacadan fisik yang dimiliki setiap tokoh menjadi pelengkap derita yang tak kunjung berakhir. Menegaskan manusia sebagai mahluk yang absurd dan menjalani hidunya dengan cara yang absurd pula.

**

Samuel Beckett bernama lengkap Samuel Barclay Beckett. Ia lahir di Foxrock, Dublin, Irlandia, pada tanggal 13 April 1906 dan meninggal di Paris, tanggal 22 Desember 1989. Pada usia 21 tahun ( 1927 ) ia telah menyelesaikan jenjang pendidikan Bachelor of Arts ( BA. ) dengan predikat sangat memuaskan di bidang sastra Italia dan Prancis. Kemudian, berkat dorongan guru-guru besarnya ia di kirim ke Prancis untuk mengajar bahasa Inggris di Ecole Nomale Superieure di Paris tahun 1928. Dua tahun kemudian ia kembali ke tempat kelahirannya untuk mengajar bahasa dan sastra Prancis di Trinity College sekaligus menyeselesaikan Masternya. Tahun 1932 ia kembali lagi ke Paris dan tidak lagi meneruskan kariernya dibidang pendidikan, tapi ia lebih memilih sebagai penulis esai dan sastra dengan bergabung di kelompok kesenian.
Karya-karya Beckett banyak ditulis dalam bahasa Inggris dan Prancis. Selain menulis puisi dan novel Beckett pun menulis lakon – Menunggu Godot merupakan lokon pertamanya yang dibuat dan mengantarkan dirinya meraih hadiah Nobel tahun 1969 untuk bidang kesusastraan, tapi sebelumnya ia pun telah meraih berbagai penghargaan dibidang seni dan sartra yang diantaranya, Obie Award, Itali Prize dan disusul penghargaan lainnya seperti dari National Grand Prize for Theaterm New York Drama Critics Circle Citation.
Sebagai lakon kedua yang ditulis Beckett, Endgame hampir memiliki kesamaan tema dengan lakon pertamannya, Menunggu Godot. Selain anti plot, juga memiliki ciri khas mengenai kecacadan fisik pada setiap tokohnya. Dalam Menunggu Godot tokoh Gogo memiliki kesulitan dengan kakinya, Didi sulit buang air kecil, Pozzo dan Lucky tokoh yang bisu dan tuli. Sedangkan dalam lakon Endgame tokoh Hamm bermasalah dengan kepalanya, matanya buta dan kakinya lumpuh, Clov tidak bisa duduk karena kakinya tidak bisa dibengkokan, Nagg dan Nell tidak memiliki kaki sama sekali ( buntung ). Sementara yang membedakan dari kedua lakon itu adalah : Menunggu Godot titik beratnya lebih pada “menunggu yang tidak kunjung datang”, sedangkan Endgame lebih pada “kerpergian yang tidak pernah terjadi”.
Kegetiran dan tekanan batin yang bergejolak dalam karya-karya Beckett, dengan latar belakang paska Perang Dunia II itu dirasakan pula pada kondisi kehidupan kita sekarang ini. Menunggu dalam ketidakpastian, lalu berusaha mencari jalan keluar tapi hampir semua pintu tertutup rapat dan kita pun kesulitan menemukan kunci pembukanya. Kalau kita hitung semenjak krisis ekonomi tahun 1997, hampir setiap saat rasanya bangsa ini tidak henti-henti dirundung duka cita. Teror bom, banjir, gempa, tsunami, longsor, perang saudara, kerusuhan, pemutusan hubungan kerja, kelaparan, berbagai wabah penyakit, korupsi, hukum yang mandul menjadi hiasan sehari-hari. Menguras air mata, memeras pikiran, menyedot tenaga dan kita senantiasa mengurut dada setiap saat. Kapan semua ini berakhir ?
Pertanyaan besar itu sering kali menyulitkan kita untuk menjawabnya. Karena setiap kali berusaha menjawab, masalah datang lagi - datang lagi dan terkadang jawaban yang ditawarkan itu sendiri menjadi masalah baru. Ketika merasa kesulitan untuk mempercayai lagi akan segala solusi atau jawaban yang ditawarkan, lantas masyarakat berusaha mencari jawabannya sendiri. Tapi mereka pun tidak memiliki jawaban yang pasti dan akhirnya masalah kian menumpuk, lalu penderitaanpun berkepanjangan sampai saat ini. Tidak ada lagi permainan yang cantik atau mengalir penuh daya hidup. Semuanya menjadi gamang dan berakhir tanpa penyelesaian yang jelas.

EXIT THE KING


EXIT THE KING BY IONESCO
Oleh : Hermana HMT

Pertumbuhan teknologi yang berlebihan telah menciptakan suatu lingkungan di mana kehidupan menjadi tidak sehat, baik secara fisik maupun secara mental. Udara yang tercemar, suara yang mengganggu, bahaya radiasi dan banyak sumber stres fisik dan psikologis telah menjadi bagian kehidupan sebagian besar dari kita sehari –hari ( Fritjof Capra : 1997 ). Tetapi kenyataan seperti itu tidak menjadikan ambisi manusia kendur. Setelah dua kali perang dunia melanda dan memporak porandakan segala-galanya, dengan kecanggihan mongolah fikirannya masih saja manusia berlomba-lomba mengembangkan perlengkapan perang, senjata pemusnah masal dengan kapasitas yang tidak logis. Setidaknya perbuatan itu menjadi ancaman utama bagi keberadaan manusia, sehingga menimbulkan deretan kecemasan mengalir sepanjang sejararah hidup manusia.
Di sisi lain manusia banyak pula yang asik sendiri, merasa dirinya lebih sempurna, dan tak satupun manusia lain di perkenankan mengganggu entitasnya. Misalnya dia seorang presiden atau raja, ia merupakan satu-satunya kekuatan yang absolut. Sementara itu absoluditas yang dimilikinya tidak membuat perubahan-perubahan yang lebih signifikan bagi kelasunggan hidup dirinya, negara dan rakyatnya, sehingga segalanya bukanlah semakin maju tapi kian terpuruk bahkan menuju pada kehacuran. Karena harapannya hanya dipendam dalam jiwa, cita-citanya di simpan dalam memori yang beku, kemegahannya tinggalah kenangan dan mimpi-mimpi buruk, semuanya tidak ada yang diraih dengan segenap usaha. Maka yang ada tinggalah kegalauan, kehampaan tanpa arah, tanpa tujuan, hidup tak mau matipun enggan menjadi kerabat dalam entitasnya.
Betapa konyolnya mahluk yang bernama manusia, mengada tetapi tidak bisa berbuat banyak untuk kemanusian itu sendiri. Mereka biarkan jiwa-jiwa terlempar ke dalam lubang yang sangat dalam, gelap, penuh kecemasan, terasing dan sunyi.
Pada tahapan itu manusia sering kali merasa kehilangan dunianya, kehilangan makna adanya dan kehilangan pengalaman tentang komunitasnya. Ia merasa berada dalam suatu bangsa yang tidak di kenal. Ia seolah-olah hidup untuk menjalani hukuman, untuk berkeliaran dalam keputus asaan yang diam, dalam ketiadaan komunitas, dalam keterasingan dan dalam ketiadaan tempat untuk berpijak.
Kisah Raja Mati adalah sebuah perlambang kehidupan manusia yang tidak mampu menunjukan eksistensinya. Entitasnya tenggelam dalam perasaannya sendiri tanpa ada tindakan yang direalisasikan dengan nyata, sehingga segalanya menjadi angan-angan panjang yang tak bermakna. Eksistesinya sungguh berada dalam kekosongan, dan jiwanya terseret dalam kegalauan yang kemudian mengarah pada gejala kelainan jiwa, dengan ditunjukan oleh rasa takut yang berlebihan. Takut akan kematian, takut menjalani hidup, takut ditinggal oleh segala yang menjadi miliknya, takut tidak dikenang siapapun dan ketakutan-ketakutan lainnya lagi.
Persoalan hidup dan mati adalah persoalan yang paling mendasar dalam eksistensi manusia. Keduanya nampak sulit untuk dipisahkan, keduanya akan terus bersama membayangi ke mana dan di mana manusia itu berada, keduanya akan turut berarak mengikuti ayunan langkah kakinya dan keduannya melahirkan kesepakatan bersama yang sangat mengikat, bahwa setiap mahluk hidup (manusia) pasti bakal mati dan tak seorang pun tahu kapan kematian itu akan datang menjemputnya.
Kematian membuat eksistensi manusia menjadi nyata, absolut dan kongkret. Alasannya, kematian sebagai potensi absolut dan menjadi spesifik. Kemampuan ini pada akhirnya mendorong manusia untuk memahami dirinya sebagai ada bersama orang lain, disamping ada sebagai dirinya sendiri. Kematian, dengan perkataan lain merupakan suatu fakta dari hidup manusia yang bukan relative ( Psikologi Eksistensialis : Rollo May ). Lantas bagaimana manusia menyikapinya ? Tentu saja ada beberapa kemungkinan yang bakal terjadi. Bagi yang memiliki keyakinan agama cukup kuat hal semacam itu bukanlah sebuah masalah, karena hidup dan mati adalah haknya, mati adalah rahasia dan milik yang menciptakannya. Sementara bagi kebanyakan orang yang panjang angan-angan dan kecintaan terhadap kehidupan duniawinya sangat kuat seringkali tidak mau menerima kenyataan itu. Baginya hidup merupakan hak dan kematian hanyalah hantu misterius yang mesti disingkirkan jauh-jauh dari kehidupan. Sok pasti, karena pengalaman selama hidupnya, kehidupan telah menawarkan kesenangan yang nyata, sedangkan kematian masih dalam tanda kutif ( rasionalitas manusia sering menyebutkan; sejak manusia pertama tercipta belum ada yang mati kembali lagi dan mengabarkan pengalaman kematiannya ). Tetapi berbeda sekali dengan orang yang bosan atau tidak bisa menerima kenyataan hidup, kamatian ( bunuh diri ) justru menjadi pilihan utamannya. Kematian merupakan penyelamat terakhir bagi dirinya dalam mengarungi hidup yang dianggapnya tidak bersahabat dan tidak memberikan apa-apa, kecuali kelaraan.
Tetapi ada pula manusia yang diam dalam keambiguan. Seperti halnya sang Raja dalam Raja Mati-nya Ionesco, di satu pihak ia ingin keabadian, di pihak lain dengan entitas fisiknya yang kian melemah ia tidak mau berusaha meraih keabadian itu. Malahan ia membiarkan dirinya tenggelam dalam angan yang hampa, tanpa mau menunjukan eksistensinya sebagai pribadi manusia, dan akhirnya ia pun terbelenggu dalam kekosongan ontologis ( makna ada ). Jika demikian bagaimana bisa mengada dengan baik apabila keberadaannya tidak dipahami oleh dirinya sendiri? Tentu, kecemasanlah yang akan menyertai dan menjadi teman baiknya, bahkan menjadi hantu gentayangan yang menakutkan di manapun ia berada.
Raja Mati merupakan naskah absurd yang struktur ceritanya tidak berada dalam garis-garis konvensional. Namun dalam sebuah tulisannya Ionesco menyatakan ; “ Ketika menulis, saya tidak berpikir apakah saya seorang pengarang avangarde atau tidak. Saya mencoba mengungkapkan sejujur mungkin bagaimana dunia tampak bagi saya, tanpa berpikir untuk propaganda…..saya hanya berminat untuk mempersonifikasi dan melahirkan makna realitas yang lucu dan menyedihkan”.
Dalam Raja Mati –nya Ionesco, kelucuan dan ketragisan sangatlah kental, namun kelucuannya tidaklah sejelas komedian Moliere. Kelucuan Ionesco adalah kelucuan yang terbilang cerdas, sebuah lelucon yang baru bisa ditangkap apa bila kita memahami kandungan makna kalimat yang terkadang loncat-loncat atau tidak adanya kesinambungan satu sama lain dan melahirkan kekonyolan-kekonyolan yang mengharukan. Kelucuannya muncul tidak bermaksud untuk melawak atau agar ditertawakan orang sehingga terkesan dibuat-buat, kelucuan itu hadir dari lontaran-lontaran kalimat yang sangat bersahaja ( wajar ).