Thursday, January 10, 2008

ENDGAME


ENDGAME; Mengenang 100 tahun Beckett. Sebuah Refleksi Kegamangan Hidup.
Oleh :Hermana HMT

Pada umumnya manusia akan berusaha menghidar dari berbagai penderitaan yang menerpa dirinya. Ia akan mencari kesempurnaan hidup, yang senantiasa bisa mengiringi entitasnya. Walau kenyataan menunjukan, bahwa pada dasarnya manusia tidak ada yang sempurna. Tapi bersama ‘ego’ yang dimilikinya ia akan mencoba dan mencoba lagi memperjuangkan eksistensinya. Menunjukan, bahwa aku ada karena aku membuatku ada, aku bisa karena aku membuaku bisa. Dengan itu kesempurnaan sebagai manusia akan nampak, meskipun sekedar mendekati kesempurnaan.
Manusia hidup selalu dihadapkan dengan pilihan-pilihannya dan pilahan itulah yang akan membawa dirinya. Manusia akan bertanggung jawab atas hidupnya, apakah ia ingin hidup penuh kebahagian atau berada dalam penderitaan, apakah ia ingin berubah atau tidak. Tidak ada yang bisa memutuskan kecuali dirinya sendiri dan kepetusan itu tentunya bukan semata untuk dirinya melainkan tanggung jawab terhadap semua manusia.
Ia yang bukan apa-apa. Ia tidak akan menjadi apa-apa sampai ia menjadikan hidupnya apa-apa. Manusia adalah manusia itu sendiri. Bukan bahwa ia adalah apa yang ia anggap sebagai dirinya, tapi ia adalah apa yang ia ingini, dan ketika ia menerima dirinya setelah mengada – ketika apa yang ia ingini terwujud setelah meloncot ke dalam eksistensinya. Manusia bukanlah apa-apa selain apa yang ia buat dari dirinya sendiri. …. Ketika seseorang mengikatkan diri pada sesuatu, sepenuhnya menyadari bahwa ia tidak hanya memilih ia akan menjadi apa, tetapi juga sekaligus seorang ligislator yang memutuskan bagi seluruh umat manusia. Dalam situasi seperti ini, ia tidak dapat lari dari rasa tanggung jawab yang komplit dan mendalam ( JP. Sartre:1960 ).
Kesadaran manusia dengan keinginannya berbuat sesuatu yang baik untuk dirinya (sekaligus juga bertanggung jawab untuk manusia lainya), paling tidak harapan untuk mengakhiri sebuah penderitaan akan segera mewujud. Tapi apabila keputusasaan hinggap di jiwanya, tentu akan lain lagi. Dengan sendirinya manusia meruntuhkan eksistensinya, bahkan melenyapkan makna keberadaannya. Ia pun akan berada di dunia penuh kegamangan, sunyi, kosong dan tak berarti apa-apa, kecuali bergelut dengan segenap penderitaannya.
Tidak mau beranjaknya manusia dari penderitaan sebenarnya merupakan sebuah pilihan pula. Ia merasa kehidupan seperti itu harus dijalani sepenuhnya. Engame adalah sebuah lakon karya dramawan dunia - Samuel Beckett merupakan sepenggal kisah manusia yang mengisaratkan gejala psikologis dan sosiologis seperti itu. Sisa kehidupan yang hancur berkeping-keping dibeberapa belahan dunia akibat peperangan menorehkan sisi gelap yang amat getir bagi kehidupan manusia. Menyeret dirinya ke dalam situasi yang ganjil, sia-sia, mustahil, serta penderitaan yang berkempanjangan, sehingga menempatkan manusia berada di tingkat absurditasnya - menjadi manusia absurd.
Lakon Endgame ini mengisahkan seseorang bernama Hamm, manusia buta, lumpuk dan selalu menggunakan kateter agar bisa kencing. Ia menjalani seluruh hidupnya di atas kursi beroda, di sebuah ruangan sejenis gudang jauh di bawah tanah. Ada Clov, teman sekaligus pelayan setia Hamm. Ia tidak bisa duduk karena ada kelainan dikakinya. Dua tokoh lain, Nagg dan Nell adalah ayah dan ibu kandung Hamm yang senantiasa merecokinya. Mereka yang buntung ( tanpa memiliki kaki ) menghabiskan hidupnya di dalam dua tong abu terpisah.
Hamm yang sangat berambisi untuk mengetahui kondisi dunia luar senantiasa menanyakan kepada Clov. Namun setiap pertanyaan yang terlontar, Clov selalu memberikan jawaban yang sama, bahwa di luar tidak ada apa-apa kecuali kekosongan dan kegelapan. Selain itu Hamm pun selalu bertanya, apakah dia sudah waktunya minum obat, dan Klov dengan tegas menyatakan bawah obot untuk menahan rasa sakit belum waktunya untuk di minum. Sementara di sisi lain Clov pun selalu barkata pada Hamm bahwa ia akan pergi meninggalkan semuanya. Hamm mencoba menahanya dengan doktrin-doktrin, bahwa tidak ada tempat selain di ruangan ini, bila ada tempat lain, tempat itu adalah neraka. Walau demikian Clov masih saja berisi keras untuk pergi, tapi baru sampai di dapur nyatanya ia tidak bisa pergi lebih jauh, dan bersama kekesalannya ia pun kembali lagi mendampingi Hamm.
Semakin berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan dan beban yang dideritanya, semakin mengumpal pula penderitaan yang mereka rasakan, dan pada titik kulminasi ketidaksepahaman diantara mereka, dengan polos Klov berkata pada Hamm bahwa obat penahan rasa sakit sudah tidak ada lagi. Hamm semakin tepukul. Satu-satunya harapan yang sangat ditunggu-tunggu ternyata hanya harapan kosong. Tak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali dengan menutup pembicaraan dan segala aktifitasnya. “ Permainan sudah berakhir”, begitulah kata Hamm. Akhirnya kesadaran akan diri sabagai mahluk yang terbuang dalam kehampaan tak bermakna itu, dengan keharuan yang mendalam Hamm dan Clov melumerkan kebekuan masing-masing hatinya dengan saling berterimakasih atas segala yang pernah mereka terima, baik atas kebaikan dan keburukannya.
Dalam kisah Endgame, Beckett mengajak kita untuk lebih merasakan betapa konyolnya dan tak berarti apa-apa hidup di dunia ini. Manusia seperti berada di dalam labirin. Ia kehilangan tujuan hidup, kehilangan harapan dan kehilangan cita-cita. Jiwa raganya terakumulasi dalam kehampaan eksistensi, dan kecacadan fisik yang dimiliki setiap tokoh menjadi pelengkap derita yang tak kunjung berakhir. Menegaskan manusia sebagai mahluk yang absurd dan menjalani hidunya dengan cara yang absurd pula.

**

Samuel Beckett bernama lengkap Samuel Barclay Beckett. Ia lahir di Foxrock, Dublin, Irlandia, pada tanggal 13 April 1906 dan meninggal di Paris, tanggal 22 Desember 1989. Pada usia 21 tahun ( 1927 ) ia telah menyelesaikan jenjang pendidikan Bachelor of Arts ( BA. ) dengan predikat sangat memuaskan di bidang sastra Italia dan Prancis. Kemudian, berkat dorongan guru-guru besarnya ia di kirim ke Prancis untuk mengajar bahasa Inggris di Ecole Nomale Superieure di Paris tahun 1928. Dua tahun kemudian ia kembali ke tempat kelahirannya untuk mengajar bahasa dan sastra Prancis di Trinity College sekaligus menyeselesaikan Masternya. Tahun 1932 ia kembali lagi ke Paris dan tidak lagi meneruskan kariernya dibidang pendidikan, tapi ia lebih memilih sebagai penulis esai dan sastra dengan bergabung di kelompok kesenian.
Karya-karya Beckett banyak ditulis dalam bahasa Inggris dan Prancis. Selain menulis puisi dan novel Beckett pun menulis lakon – Menunggu Godot merupakan lokon pertamanya yang dibuat dan mengantarkan dirinya meraih hadiah Nobel tahun 1969 untuk bidang kesusastraan, tapi sebelumnya ia pun telah meraih berbagai penghargaan dibidang seni dan sartra yang diantaranya, Obie Award, Itali Prize dan disusul penghargaan lainnya seperti dari National Grand Prize for Theaterm New York Drama Critics Circle Citation.
Sebagai lakon kedua yang ditulis Beckett, Endgame hampir memiliki kesamaan tema dengan lakon pertamannya, Menunggu Godot. Selain anti plot, juga memiliki ciri khas mengenai kecacadan fisik pada setiap tokohnya. Dalam Menunggu Godot tokoh Gogo memiliki kesulitan dengan kakinya, Didi sulit buang air kecil, Pozzo dan Lucky tokoh yang bisu dan tuli. Sedangkan dalam lakon Endgame tokoh Hamm bermasalah dengan kepalanya, matanya buta dan kakinya lumpuh, Clov tidak bisa duduk karena kakinya tidak bisa dibengkokan, Nagg dan Nell tidak memiliki kaki sama sekali ( buntung ). Sementara yang membedakan dari kedua lakon itu adalah : Menunggu Godot titik beratnya lebih pada “menunggu yang tidak kunjung datang”, sedangkan Endgame lebih pada “kerpergian yang tidak pernah terjadi”.
Kegetiran dan tekanan batin yang bergejolak dalam karya-karya Beckett, dengan latar belakang paska Perang Dunia II itu dirasakan pula pada kondisi kehidupan kita sekarang ini. Menunggu dalam ketidakpastian, lalu berusaha mencari jalan keluar tapi hampir semua pintu tertutup rapat dan kita pun kesulitan menemukan kunci pembukanya. Kalau kita hitung semenjak krisis ekonomi tahun 1997, hampir setiap saat rasanya bangsa ini tidak henti-henti dirundung duka cita. Teror bom, banjir, gempa, tsunami, longsor, perang saudara, kerusuhan, pemutusan hubungan kerja, kelaparan, berbagai wabah penyakit, korupsi, hukum yang mandul menjadi hiasan sehari-hari. Menguras air mata, memeras pikiran, menyedot tenaga dan kita senantiasa mengurut dada setiap saat. Kapan semua ini berakhir ?
Pertanyaan besar itu sering kali menyulitkan kita untuk menjawabnya. Karena setiap kali berusaha menjawab, masalah datang lagi - datang lagi dan terkadang jawaban yang ditawarkan itu sendiri menjadi masalah baru. Ketika merasa kesulitan untuk mempercayai lagi akan segala solusi atau jawaban yang ditawarkan, lantas masyarakat berusaha mencari jawabannya sendiri. Tapi mereka pun tidak memiliki jawaban yang pasti dan akhirnya masalah kian menumpuk, lalu penderitaanpun berkepanjangan sampai saat ini. Tidak ada lagi permainan yang cantik atau mengalir penuh daya hidup. Semuanya menjadi gamang dan berakhir tanpa penyelesaian yang jelas.

No comments: