Thursday, January 10, 2008

EXIT THE KING


EXIT THE KING BY IONESCO
Oleh : Hermana HMT

Pertumbuhan teknologi yang berlebihan telah menciptakan suatu lingkungan di mana kehidupan menjadi tidak sehat, baik secara fisik maupun secara mental. Udara yang tercemar, suara yang mengganggu, bahaya radiasi dan banyak sumber stres fisik dan psikologis telah menjadi bagian kehidupan sebagian besar dari kita sehari –hari ( Fritjof Capra : 1997 ). Tetapi kenyataan seperti itu tidak menjadikan ambisi manusia kendur. Setelah dua kali perang dunia melanda dan memporak porandakan segala-galanya, dengan kecanggihan mongolah fikirannya masih saja manusia berlomba-lomba mengembangkan perlengkapan perang, senjata pemusnah masal dengan kapasitas yang tidak logis. Setidaknya perbuatan itu menjadi ancaman utama bagi keberadaan manusia, sehingga menimbulkan deretan kecemasan mengalir sepanjang sejararah hidup manusia.
Di sisi lain manusia banyak pula yang asik sendiri, merasa dirinya lebih sempurna, dan tak satupun manusia lain di perkenankan mengganggu entitasnya. Misalnya dia seorang presiden atau raja, ia merupakan satu-satunya kekuatan yang absolut. Sementara itu absoluditas yang dimilikinya tidak membuat perubahan-perubahan yang lebih signifikan bagi kelasunggan hidup dirinya, negara dan rakyatnya, sehingga segalanya bukanlah semakin maju tapi kian terpuruk bahkan menuju pada kehacuran. Karena harapannya hanya dipendam dalam jiwa, cita-citanya di simpan dalam memori yang beku, kemegahannya tinggalah kenangan dan mimpi-mimpi buruk, semuanya tidak ada yang diraih dengan segenap usaha. Maka yang ada tinggalah kegalauan, kehampaan tanpa arah, tanpa tujuan, hidup tak mau matipun enggan menjadi kerabat dalam entitasnya.
Betapa konyolnya mahluk yang bernama manusia, mengada tetapi tidak bisa berbuat banyak untuk kemanusian itu sendiri. Mereka biarkan jiwa-jiwa terlempar ke dalam lubang yang sangat dalam, gelap, penuh kecemasan, terasing dan sunyi.
Pada tahapan itu manusia sering kali merasa kehilangan dunianya, kehilangan makna adanya dan kehilangan pengalaman tentang komunitasnya. Ia merasa berada dalam suatu bangsa yang tidak di kenal. Ia seolah-olah hidup untuk menjalani hukuman, untuk berkeliaran dalam keputus asaan yang diam, dalam ketiadaan komunitas, dalam keterasingan dan dalam ketiadaan tempat untuk berpijak.
Kisah Raja Mati adalah sebuah perlambang kehidupan manusia yang tidak mampu menunjukan eksistensinya. Entitasnya tenggelam dalam perasaannya sendiri tanpa ada tindakan yang direalisasikan dengan nyata, sehingga segalanya menjadi angan-angan panjang yang tak bermakna. Eksistesinya sungguh berada dalam kekosongan, dan jiwanya terseret dalam kegalauan yang kemudian mengarah pada gejala kelainan jiwa, dengan ditunjukan oleh rasa takut yang berlebihan. Takut akan kematian, takut menjalani hidup, takut ditinggal oleh segala yang menjadi miliknya, takut tidak dikenang siapapun dan ketakutan-ketakutan lainnya lagi.
Persoalan hidup dan mati adalah persoalan yang paling mendasar dalam eksistensi manusia. Keduanya nampak sulit untuk dipisahkan, keduanya akan terus bersama membayangi ke mana dan di mana manusia itu berada, keduanya akan turut berarak mengikuti ayunan langkah kakinya dan keduannya melahirkan kesepakatan bersama yang sangat mengikat, bahwa setiap mahluk hidup (manusia) pasti bakal mati dan tak seorang pun tahu kapan kematian itu akan datang menjemputnya.
Kematian membuat eksistensi manusia menjadi nyata, absolut dan kongkret. Alasannya, kematian sebagai potensi absolut dan menjadi spesifik. Kemampuan ini pada akhirnya mendorong manusia untuk memahami dirinya sebagai ada bersama orang lain, disamping ada sebagai dirinya sendiri. Kematian, dengan perkataan lain merupakan suatu fakta dari hidup manusia yang bukan relative ( Psikologi Eksistensialis : Rollo May ). Lantas bagaimana manusia menyikapinya ? Tentu saja ada beberapa kemungkinan yang bakal terjadi. Bagi yang memiliki keyakinan agama cukup kuat hal semacam itu bukanlah sebuah masalah, karena hidup dan mati adalah haknya, mati adalah rahasia dan milik yang menciptakannya. Sementara bagi kebanyakan orang yang panjang angan-angan dan kecintaan terhadap kehidupan duniawinya sangat kuat seringkali tidak mau menerima kenyataan itu. Baginya hidup merupakan hak dan kematian hanyalah hantu misterius yang mesti disingkirkan jauh-jauh dari kehidupan. Sok pasti, karena pengalaman selama hidupnya, kehidupan telah menawarkan kesenangan yang nyata, sedangkan kematian masih dalam tanda kutif ( rasionalitas manusia sering menyebutkan; sejak manusia pertama tercipta belum ada yang mati kembali lagi dan mengabarkan pengalaman kematiannya ). Tetapi berbeda sekali dengan orang yang bosan atau tidak bisa menerima kenyataan hidup, kamatian ( bunuh diri ) justru menjadi pilihan utamannya. Kematian merupakan penyelamat terakhir bagi dirinya dalam mengarungi hidup yang dianggapnya tidak bersahabat dan tidak memberikan apa-apa, kecuali kelaraan.
Tetapi ada pula manusia yang diam dalam keambiguan. Seperti halnya sang Raja dalam Raja Mati-nya Ionesco, di satu pihak ia ingin keabadian, di pihak lain dengan entitas fisiknya yang kian melemah ia tidak mau berusaha meraih keabadian itu. Malahan ia membiarkan dirinya tenggelam dalam angan yang hampa, tanpa mau menunjukan eksistensinya sebagai pribadi manusia, dan akhirnya ia pun terbelenggu dalam kekosongan ontologis ( makna ada ). Jika demikian bagaimana bisa mengada dengan baik apabila keberadaannya tidak dipahami oleh dirinya sendiri? Tentu, kecemasanlah yang akan menyertai dan menjadi teman baiknya, bahkan menjadi hantu gentayangan yang menakutkan di manapun ia berada.
Raja Mati merupakan naskah absurd yang struktur ceritanya tidak berada dalam garis-garis konvensional. Namun dalam sebuah tulisannya Ionesco menyatakan ; “ Ketika menulis, saya tidak berpikir apakah saya seorang pengarang avangarde atau tidak. Saya mencoba mengungkapkan sejujur mungkin bagaimana dunia tampak bagi saya, tanpa berpikir untuk propaganda…..saya hanya berminat untuk mempersonifikasi dan melahirkan makna realitas yang lucu dan menyedihkan”.
Dalam Raja Mati –nya Ionesco, kelucuan dan ketragisan sangatlah kental, namun kelucuannya tidaklah sejelas komedian Moliere. Kelucuan Ionesco adalah kelucuan yang terbilang cerdas, sebuah lelucon yang baru bisa ditangkap apa bila kita memahami kandungan makna kalimat yang terkadang loncat-loncat atau tidak adanya kesinambungan satu sama lain dan melahirkan kekonyolan-kekonyolan yang mengharukan. Kelucuannya muncul tidak bermaksud untuk melawak atau agar ditertawakan orang sehingga terkesan dibuat-buat, kelucuan itu hadir dari lontaran-lontaran kalimat yang sangat bersahaja ( wajar ).

No comments: